MAKNA LAMBANG GARUDA PANCASILA
DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
BANGSA
Nilai-nilai pada Lambang Garuda Pancasila
Keberadaan lambang Garuda Pancasila disahkan dalam
sidang Dewan Menteri Republik Indonesia (RI) yang dilaksanakan pada tanggal 10
Juli 1951. Lambang ini diciptakan oleh Panitia Lambang Negara RI dengan
susunan, Ketua: Prof. Mr. Muhammad Yamin, dengan anggota: Ki Hadjar Dewantara, M.A.
Pellaupessy, Muhammad Natsir, dan Prof. Dr. R.M.Ng. Purbotjaroko (Pariata
Westra dkk., 1995: 175).
Lambang Garuda Pancasila merupakan lambang negara yang begitu lengkap.
Lambang ini terdiri atas kumpulan lambang-lambang yang masing-masing memiliki
arti dan maksud baik tersurat maupun
yang tersirat. Namun demikian masing-masing bagian lambang itu tidak bendiri
sendiri-sendiri, tetapi merupakan satu kesatuan sebuah lambang Garuda Pancasila
yang utuh. Berikut ini akan dijelaskan makna dari lambang Garuda Pancasila
(lih. Pariata Westra, 1995: 175-183).
1. Burung
Garuda
Kerangka dasar lambang Garuda Pancasila berujud Burung Garuda.
Burung Garuda adalah raja dari segala
burung. Burung Garuda juga dikenal sebagai Burung Sakti Elang Rajawali. Terkait
dengan ini, Burung Garuda melambang kekuatan dan gerak yang dinamis yang
terlihat dari sayapnya yang mengembang, siap terbang ke angkasa. Burung Garuda
dengan sayap mengembang siap terbang ke angkasa, melambangkan dinamika dan
semangat untuk menjunjung tinggi nama baik bangsa dan negara.
2. Seloka,
bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika
Kedua kaki Burung Garuda yang kokoh mencengkeram pita putih yang
bertuliskan seloka yang berbunyi: Bhinneka
Tunggal Ika. Seloka ini diambil dari buku buku Sutasoma, karangan Empu
Tantular. Bhinneka Tunggal Ika,
berarti ”berbeda-beda tetapi satu jua”. Dalam konteks keindonesiaan, kata-kata
itu memiliki makna yang sangat mendalam. Negara Indonesia terdiri atas
pulau-pulau yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan
bahasanya sendiri-sendiri. Bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan realitas itu menunjukkan bahwa
kehidupan di Indonesia begitu beragam, terdapat berbagai perbedaan di antara
yang satu dengan yang lain. Namun kenyataannya, Indonesia merupakan negara kesatuan,
satu nusa, satu bangsa, dan menjunjung satu bahasa persatuan, Indonesia. Bangsa
Indonesia itu juga satu jiwa dan satu pandangan hidup. Keadaan yang
berbeda-beda tetapi dapat bersatu ini, berarti masing-masing pihak ada
toleransi, ada kegotongroyongan, ada nilai saling harga menghargai dan hormat
menghormati, sehingga tercipta persatuan dan kesatuan.
3. Warna
Warna
pokok dari Burung Garuda, adalah kuning
emas. Warna kuning emas melambangkan keagungan. Bangsa Indonesia senantiasa
menjunjung tinggi martabat bangsa yang bersifat agung dan luhur. Bangsa
Indonesia diharapkan menjadi bangsa yang bermartabat, besar (disegani dan
dihormati bangsa lain), dan semua warganya berbudi pekerti luhur. Warna merah
putih pada perisai seperti halnya warna bendera Sang Saka Merah Putih, merah
melambangkan keberanian dan putih berati kesucian. Merah putih juga melambangkan
kebenaran dan kejujuran. Merah juga melambangkan semangat juang yang tak
kunjung padam. Warna hijau pada pohon beringin dan kelopak/tangkai padi dan
kapas bermakna kesuburan dan harapan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
makmur dan sejahtera.
4. Jumlah Bulu Burung Garuda
Jumlah bulu yang berada pada Garuda Pancasila terkait dengan kelahiran NKRI. Bulu pada sayap
kanan dan kiri, masing-masing berjumlah 17 helai (menunjukkan tanggal 17); bulu
ekor berjumlah delapan helai (menunjukkan bulan 8/Agustus. Kemudian di bawah
kalung perisai yang menghubungkan dengan ekor terdapat bulu berjumlah 19 dan
bulu pada leher berjumlah 45 (menunjukkan angka tahun 1945). Angka-angka yang
menunjuk tanggal 17 Agustus 1945 ini bermakna historis untuk membangun proses
penyadaran bagi setiap warga negara Indonesia agar menghargai waktu dan selalu
mengingat sejarahnya. Orang yang melupakan sejarahnya selamanya tidak akan
pernah dewasa.
5. Perisai
Perisai
merupakan lambang perjuangan dan perlindungan, karena perisai sering dibawa ke
medan perang oleh para prajurit untuk melindungi diri dari serangan musuh.
Garis melintang yang membagi perisai menjadi ruang atas dan bawah melambangkan
garis Katulistiwa yang memang membelah Kepulauan Indonesia. Perisai yang
merupakan lambang perjuangan dan perlindungan ini terbagi atas lima bagian,
yang masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila.
- Perisai kecil yang terletak di tengah-tengah perisai besar. Di tengah-tengah perisai kecil terdapat gambar bintang untuk melambangkan sila pertama: ”Ketunanan Yang Maha Esa”. Ini mengandung maksud agar warga negara Indonesia terus meningkatkan keimanan dan ketakwaannya atas dasar agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini sesuai dengan pandangan hidup dan perpektif kehidupan berbangsa yang bersifat religius. Nilai-nilai yang dikembangkan untuk membangun warga bangsa Indonesia yang bermartabat, yakni nilai keimanan dan ketakwaan, toleransi dan kerukunan antar umat beragama, saling hormat menghormati.
- Gambar rantai yang berwarna kuning emas, menunjukkan sila kedua: ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Rantai ini terdiri atas dua macam yakni yang berbentuk persegi empat dan berbentuk cincin. Hal ini melambangkan makhluk yang terdiri pria dan wanita yang saling sambung menyambung. Bangsa Indonesia menyadari bahwa manusia di dunia ini sama antara yang satu dengan yang lain, tidak bangsa yang lebih tinggi kedudukannya dibanding bangsa lain. Oleh karena itu, antarmanusia dan antarbangsa harus saling kasih sayang, saling mencintai tidak semena-mena, tenggang rasa, saling harga menghargai, dan saling tolong menolong, membela kebenaran dan keadilan (Bahan Penataran UUD-45, P-4 dan GBHN, 1988).
- Pohon Beringin, melambangkan sila ketiga: ”Persatuan Indonesia”. Pohon Beringin yang lebat daunnya, hijau, rimbun sehingga bisa digunakan untuk berteduh dan berlindung siapa saja. Nilai-nilai yang termaktub di dalam lambang ini misalnya persatuan dan kesatuan, saling melindungi, rela berkorban, rasa cinta pada tanah air, bangga sebagai bangsa Indonesia sekaligus bangga dengan budaya bangsanya.
- Kepala Banteng, melambangkan sila keempat: ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Rakyat dalam hal ini merupakan komunitas yang masing-masing individu memiliki kedudukan yang sama, memiliki kewajiban dan hak yang sama. Inilah inti dari kehidupan demokrasi, yang di Indonesia memiliki ciri yang khas, yakni musyawarah untuk mufakat, yang dijalankan secara jujur dan tanggung jawab. Nilai-nilai yang terkandung pada sila keempat ini, antara laian: demokrasi, persamaan, mengutamakan kepentingan negara, tidak memaksakan kehendak, musyawarah untuk mufakat, gotong royong dan semangat kekeluargaan, kesantunan dalam menyampaikan pendapat, jujur dan tanggung jawab.
- Padi dan kapas, melambangkan sila kelima: ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Sila ini memberikan semangat dan motivasi bagi pimpinan dan seluruh rakyat Indonesia untuk mengusahakan kemakmuran dan kesejateraan yang merata (adil) bagi bangsa Indonesia. Padi melambangkan pangan dan kapas melambangkan sandang. Dengan lambang ini diharapkan semua rakyat Indonesia dapat menikamati kemakmuran, kesejahteraan, cukup pangan, cukup sandang. Oleh karena itu, sila kelima ini sekaligus memberikan semangat dan motivasi para pimpinan dan semua unsur masyarakat untuk mengusahakan kemakmurn dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah prinsip keadilan sosial yang perlu diwujudkan sesuai dengan amanat sila kelima Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya antara lain: keadilan, gotong-royong dan saling tolong menolong, tanggung jawab, kerja keras dan kemandirian.
Di
samping hal-hal yang dijelaskan di atas, secara simbolik filosofis, karakter atau ciri Lambang Garuda Pancasila itu diciptakan
sesuai dengan jiwa, kebudayaan, tradisi dan nilai-nilai agama yang berkembang
di Indonesia. Dalam konteks ini Lambang
Garuda Pancasila itu sudah melambangkan kebaikan/keutamaan. Sebagai
contoh Burung Garuda itu menghadap kekanan. Di lingkungan masyarakat Indonesia
sudah menjadi pandangan bahkan mentradisi bahwa kanan itu sesuai yang baik. Oleh
karena itu, memulai sesuatu yang baik sudah seharusnya dimulai dari kanan,
entah tangan kanan, kaki kanan (kecuali sesuatu keadaan yang khusus seperti
kidal). Mau masuk rumah, atau masuk ruang ibadah, dimulai kaki kanan, makan
dengan tangan kanan, Malaikat yang mencatat perilaku baik manusia ada pada bahu
kanan manusia yang bersangkutan. Memahami uraian mengenai nilai-nilai yang terkandung
dalam lambang Garuda Pancasila yang berintikan nilai-nilai Pancasila, jelas
merupakan instrumen yang sangat tepat untuk membangun karakter bangsa Indonesia.
Berdasarkan nilai-nilai tersebut dapat dideskripsikan karakter bangsa Indonesia
antara lain sebagai beriku: (1) Menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya,
sehingga menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Y.M.E; (2) berlaku
adil, jujur dan bertanggung jawab; (3) kasih sayang dan saling tolong menolong;
(4) beradap dan mematuhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat; (5) memupuk
sikap toleransi, saling harga-menghargai, dan hormat-menghormati; (6) menghormati
perbedaan dan mengembangkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan; (7) bersikap
positif kepada bangsa dan negara, rela berkorban dan cinta pada tanah air; (8)
mencintai dan melestarikan budaya bangsa sendiri, menjaga milik negara, dan
menghormati budaya dan milik bangsa lain; (9
terbuka terhadap perubahan atas dasar nilai dan norma yang dimilikinya;
(10) mengembangkan semangat
kekeluargaan dan gotong royong, (11) demokratis, mengedepankan musyawarah untuk
mencapai mufakat; (12) memiliki semangat juang yang tinggi, kerja keras dan
mengembangkan kemandirian.
Karakter atau nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia yang demikian itu
jelas sebagai karakter yang unggul dan kompetitif. Tetapi sayangnya nilai-nilai
luhur itu “seolah sirna” ditelan oleh ganasnya pragmatisme, sekularisme dan
materialisme. Secara filosofis kehidupan manusia lebih mengutamakan paradigma
“memiliki” daripada “menjadi” (Erich From, 1987). Pendidikan pun larut dengan setting kekinian yang serba instan dan lupa pada
esensinya sebagai investasi peradaban masa depan. Benarkah kehidupan bangsa
Indonesia sedang mengarah kepada situasi yang pernah diperingatkan Bung Karno
bahwa apabila kita gagal membangun karakter bangsa, maka kita akan menjadi
bangsa kuli, bangsa yang tidak memiliki kemandirian dan akan didekte oleh
bangsa lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar